MEMANDANG KE DALAM CERMIN,
TERGODA FANTASI INGIN LARI
Catatan oleh:
Hajriansyah
Melukis diri sendiri adalah salah satu medium bagi pelukis untuk melihat dirinya secara lebih dalam, atau lebih jauh. Lebih dalam, seseorang masuk ke dalam pencarian karakter dirinya yang primordial. Siapakah aku yang sebenarnya, dari mana aku berasal, dan bagaimana aku berproses menjadi aku yang sekarang. Lebih jauh, seseorang melihat ke sekitarnya, ke kiri dan ke kanan, ke belakang dan ke hadapan. Dalam lingkungan sosial bagaimana aku berinteraksi, dalam kondisi politik bagaimana aku berkarya, dalam arus perubahan bagaimana aku menempatkan diri.
Suatu waktu, seseorang dari desa yang terpencil datang ke sebuah kota yang ramai. Ia terpana, begitu banyak orang, begitu banyak kesibukan, dan begitu penuhnya kota dengan gedung, kendaraan, benda-benda yang menggoda sekaligus membuat bingung si orang desa yang terbiasa dengan keseharian yang rutin tanpa banyak renda. Timbul dalam pikirannya, rasa takut kehilangan dirinya dengan semua keramaian itu. Karena kelelahan, ia duduk di pinggir jalan bersandar pada sebuah tiang bendera. Sebelum tertidur ia mengikatkan kakinya yang kanan ke tiang tersebut dengan tali yang dibawanya untuk keperluan mengikat barang bawaan. Dengan pikiran, jika terbangun nanti ia masih mendapati dirinya. Seseorang yang usil yang memperhatikannya sejak lama, sementara si orang desa tertidur, memindahkan ikatan itu ke kaki kanannya dan duduk di sisi orang desa. Tidak lama tertidur si orang desa terbangun, dan ketika mendapati kakinya lepas bebas ia menoleh ke samping. Mendapati seseorang yang lain terikat kaki kanannya, persis seperti ia mengikat kakinya sebelumnya ke tiang bendera, ia lalu berseru, “jika engkau adalah aku, lalu siapa aku?!”1
Tali yang Mengikat Wajah Perupa
Sejak lama para perupa mengabadikan dirinya (wajahnya) ke dalam karyanya. Da Vinci melukis wajahnya yang tua, dan kita mengenalinya sebagai figur cendekia yang tampak bijaksana. Tampak rupanya penuh pengalaman. Rambutnya yang tipis seperti bebukitan kehidupan yang landai atau gelombang yang tak seberapa namun ajeg. Goresan waktu melintas di kerut dahi dan pinggiran lembek matanya. Matanya yang jernih seperti tengah menyangsikan sesuatu. Dalam raut wajah yang demikian, kita seperti menyaksikan seorang filsuf yang selalu bertanya dan sekaligus menyangsikan jawabannya sendiri. Dalam peribahasa filosofis yang umum dinyatakan, “bukanlah jawaban yang terpenting, melainkan pertanyaannya.”
Beberapa pengamat menyangsikan bahwa potret lelaki tua yang disembunyikan dari jangkauan Hitler pada masa Perang Dunia II, karena pengaruh mistiknya, itu adalah Leonardo da Vinci sang empu Renaissance. James Hall, penulis The Self Portrait: A Cultural History, misalnya, beralasan bahwa Da Vinci tak terlalu suka menggambar dirinya, karena ia ingin agar karya seni itu (hanya) menggambarkan gagasan tertentu. Dan sejauh ini, kata Hall, tak ada ‘potret diri’ lain yang bisa mengukuhkan bahwa itu memang Da Vinci. Meski begitu, direktur Biblioteca Reale di Torino-Italia, Giovanni Saccani, tak punya keraguan sedikit pun untuk menyatakan, “Itu potret diri dia! Daya ekspresif wajah di lukisan ini sudah pasti berhubungan dengan emosi dan kemampuan yang hanya bisa dimiliki Leonardo da Vinci sendiri.”2
Misteri dan emosi adalah dua hal yang berhubungan secara psikologis dengan kehidupan seniman. Dalam gambar atau lukisan ia terekspresikan bisa secara lugas (realistik) bisa juga secara abstrak (konseptual). Secara realistik, hampir semua seniman pernah melukis dirinya sebagai sebuah studi karakter. Dan karakter yang paling dekat serta mudah dikenali adalah wajah sendiri, yang tiap hari dipandangi di dalam cermin sehabis mandi. Dalam perkuliahan ‘Gambar Potret’ di ISI dulu, misalnya, sebelum menggambar potret orang lain yang pertama kali dilukis adalah wajah pelukisnya sendiri.
Secara konseptual “potret diri” bisa melukiskan “apa saja”. Bahkan setiap lukisan atau setiap karya yang dibuat oleh seorang seniman, kata beberapa ahli, merefleksikan “potret diri” senimannya sendiri.3 Gagasannya, kenangannya, atau bahkan delusi yang menguasai pikirannya.4 Secara imajinatif seniman merefleksikan semua itu dan mengekspresikannya melalui karyanya secara emosional dan penuh kesadaran. Emosional artinya memiliki pertalian batin dengan apa yang dirasakan dan dialaminya, tidak terbatas pada kemarahan dan kesedihan, namun juga ingin secara jernih melihat dirinya apa adanya dalam segala suasana. Sewaktu kehidupan rumah tangga Picasso tidak dapat dipertahankan lagi bersama Olga Khokhlova, karena dianggapnya terlalu mendikte kehidupannya, Picasso melukis dirinya dalam profil warna merah temaram dan mengclose-up wajah seorang perempuan dengan mulut yang terbuka lebar dan giginya yang mengancam (Woman’s Head and Self-Portrait). Dan kemudian, ketika ia berdampingan dengan Maria Theresia Walter yang dianggapnya merupakan lambang feminitas dan kelembutan, Picasso melukisnya dalam bulatan-bulatan erotisme (Nude on a Black Couch). Yang demikian, kata Isbandi, merefleksikan “potret diri” Picasso.5
Melalui “tali” potret diri juga kita mengetahui keberpihakan Raden Saleh dalam lukisan ‘Penangkapan Pangeran Diponegoro’ (1857).6 Pelukis pribumi yang merupakan murid dari Antoine Joseph Payen, pelukis Belgia yang didatangkan ke Batavia untuk melukis pemandangan di Jawa, ini melukis dirinya dalam tiga sosok prajurit Pangeran Diponegoro. Dari yang tertunduk sedih, yang ragu, dan yang yakin membusungkan dadanya. Melalui lukisan ini juga kita melihat sejarah kolonial dalam potretnya yang buram. Berbeda misalnya dengan lukisan serupa, ‘Penyerahan Pangeran Diponegoro’ (1835), karya Nicolas Pieneman yang lebih cerah dan beraroma kemenangan (di pihak Belanda). Jika membandingkan kedua lukisan ini, tampak keberpihakan kedua orang pelukis dalam masing-masing lukisannya. Salah satunya, bagaimana cara melukiskan potret wajah Pangeran Diponegoro dan para pengikutnya. Pieneman tidak pernah ke Hindia Belanda, dan karenanya ia mengambil model profil orang Arab kebanyakan yang pernah dilihatnya sebagai figur-figur pribumi yang tampak formal itu, sementara Raden Saleh mengambil model dirinya yang Arab kepribumian beserta keharuannya sendiri dalam porsi keberpihakannya sendiri.
Melalui pengenalan (potret) diri sendiri, seorang pelukis mampu menggambarkan lingkungannya secara lebih dekat. Dekat bisa berarti lebih detail gagasan yang tervisualisasikan, atau dekat secara emosional yang merepresentasikan keharuan dan kedalaman. Keharuan dan kelembaman lingkungan sekitar terjiwai secara halus atau subtil. Atau, terekspresikan dengan emosi yang lebih tuntas. Amang Rahman misalnya, ketika melukis potret dirinya yang seperti menara tinggi penuh lobang seruling di dadanya sebenarnya menggambarkan pemahaman kosmologis-sufistiknya. Diri yang menjangkau tinggi ke langit merindukan asalnya yang sejati, lobang-lobang di tubuhnya merupakan jejak keduniawiannya yang penuh dengan kesalahan atau kekurangan. Wajahnya yang tua menghadap rembulan kuning penuh sempurna. Rambut putihnya yang berkibar dihembus angin bak awan gemawan. Melukis potret dirinya di tahun 1996 itu, Amang seperti berdiri di ambang cakrawala kehidupan yang dikenalinya: langit yang luas, rembulan masa kecilnya, dan warna surga hijau kebiru-biruan yang melekat di bajunya.7
Lain lagi dengan Agus Suwage. Potret dirinya menghadirkan paradoks sosial dan kejiwaan. Bagaimana dampak sosial-politik-ekonomi-dan budaya berpengaruh terhadap kondisi kejiwaan Suwage. Tidak hanya hal-hal positif—seperti kemajuan, keutuhan dan kegembiraan—yang terekspresikan melalui karya seni, melainkan juga kemerosotan, kebosanan, kecerai-beraian dan kepedihan, menjadi sisi negatif yang melengkapi sisi lain kehidupan. Agus Suwage merepresentasikan dirinya sebagai potret antagonis dari situasi sosial-politik yang sedang bergejolak. Dalam konteks demikian, kita membutuhkan wawasan atas dikotomi karakter antagonistik itu satu sama lain, bukan untuk dipandang secara terpisah-pisah—kata Lois Denissa—, melainkan untuk menghasilkan sebuah pandangan yang lebih dinamis dan sinergis.
Begitu pula paradoks yang diungkapkan Affandi melalui potret-potret dirinya. Kesenangan kecil menikmati buah semangka, kekecewaan dan kemarahan saat gagal melukis atau saat melihat orang-orang yang terpinggirkan, serta kegembiraan mendapatkan cucu yang baru lahir. Dalam tali-temali warna yang membelit “wajah”nya, Affandi—dan kita yang menyaksikan karya potret dirinya—mencoba melihat hidup dan kehidupan itu apa adanya. Bahwa seseorang tidak terpisahkan, antara dirinya dan, dari lingkungannya di mana ia hidup. Sisi negatif dan positif manusia muncul bereaksi atas apa yang terjadi di sekitarnya.
Bersama-sama Melihat Cermin Kolektif
Ketika sebuah pameran (seni rupa) hadir dengan tema ‘potret diri’, tantangan yang dimunculkannya tidak sebatas mengenali diri sendiri masing-masing di dalam sebuah lukisan atau karya visual lainnya. Tantangan terbesarnya adalah mencoba untuk melihat potret kolektif, sosial-politik-budaya, dari jiwa seni itu sendiri, melalui “diri”nya. Estetikanya adalah cara “bermain” di tataran ide dan visual dalam melihat hubungan antara gagasan personal dengan segara latar kebudayaan yang melingkupi perupa di suatu bentangan waktu. Atau apa yang mengikatnya dalam proses perupaan karya-karyanya, tidak terbatas pada penguasaan bahan atau material seni rupanya, namun lebih jauh pemahaman sosial, politik dan kebudayaannya, dan bagaimana ia mengabstraksikan semuanya itu kemudian memilih ikon dan simbol visual seperti apa yang dihadirkannya kembali dalam sebuah karya sebagai representasi dirinya.
Pameran ini sendiri ingin merajut kembali jalinan tali yang pernah tersusun dalam kekerabatan studi di Prodi Seni Lukis Jurusan Seni Murni Fakultas Seni Rupa ISI Yogyakarta, sejak terdaftar masuk tahun 1999 yang lalu. Dalam hal ini ia bersifat romantik.
Di FSR ISI Yogyakarta ada suatu tradisi, di mana setiap angkatan berdasarkan program studinya membuat kelompok dan kemudian “belajar” pameran di luar tugas dan kewajiban pembelajaran di kampus. Gledek ’99 adalah kelompok mahasiswa seni lukis angkatan (tahun masuk) 1999. Belum lagi mendapatkan perkuliahan ‘Seni Lukis’ yang baru dijalani mulai semester ketiga (MK Seni Lukis I), para mahasiswa sudah melukis secara “profesional”. Hal ini bukannya tanpa dasar, rata-rata yang masuk prodi seni lukis ISI sudah pernah membuat lukisan di atas kanvas maupun kertas sebelum maupun saat semester satu dan dua. Pameran di luar perkuliahan sendiri, baik dalam skala kecil maupun besar, sudah biasa mereka ikuti. Pameran kelompok angkatan kemudian menjadi media pembelajaran yang lebih luas sekaligus sebagai ajang menghadirkan diri secara kolektif, mengikuti tradisi yang sudah ada sebelumnya. Di sini diuji kemampuan mengorganisir diri dengan mengatasi hambatan-hambatan personal yang niscaya ada dalam diri setiap angkatan. Keberhasilan pameran di luar kampus, yang berarti kemandirian dalam mengelola iuran, berhubungan dengan para donatur—yang kebanyakan senior yang sudah mapan, menyewa gedung, menata lukisan, menghubungi tokoh yang membuka pameran, membuat katalog dan publikasi kegiatan, semuanya dipelajari secara intuitif dalam irama psikologis komunal yang pasang surut antar mahasiswa. Sejak dini, sebelum nantinya juga dipelajari dalam perkuliahan yang bersinggungan dengan manajemen pameran, hal-hal ini dipelajari secara bersama. Dengan suksesnya pameran, dalam standar yang cair, setiap orang di dalam angkatan ini melihat cara bekerja bersama-sama sekaligus melihat potret diri kolektif mereka.
Mengenali diri berarti mengenali kawan dan lingkungan. Ini juga tercermin dalam sejarah, dalam komunitas pekerja gilda atau komunitas spiritual tarekat. Dalam medan sosial yang terbatas dengan pilihan jenis pekerjaan yang sama serta kecenderungan spiritual yang seiring setiap individu saling mengenali diri dan kawan-kawannya dalam proses bekerja dan mencari bersama. Seiring waktu kekerabatan semacam ini menguatkan diri masing-masing dan semangat keguyuban mereka. Tentu ada yang tereliminir ke pinggir dan tersingkir. Ini biasa. Selebihnya komunitas menjadi lebih solid.
Tentu saja saya tidak sedang membayangkan hal serupa juga terjadi dalam kelompok angkatan yang dibangun dengan etos yang lebih cair ini, tapi bahwa potensi-potensi penguatan yang berbeda itu dapat terjadi, dan kenangan adalah tali yang sama kuatnya bagi setiap individu dalam sebuah kelompok meski untuk sekadar bernostalgia. Kenangan itu pula yang memiuhkan rambut dan akarnya serta jejalin kebersamaan yang hari ini hadir dalam sebuah pameran. Ketika setiap orang diberi frame berkarya, yang cukup longgar, dalam tema potret dirinya masing-masing dalam pameran ini, yang terefleksikan atau terekspresikan kemudian bisa saja membuka lembar-lembar yang hilang dalam kesibukannya sendiri-sendiri dalam kurun waktu kurang lebih kurang 13 tahun yang berlalu, terhitung sejak pameran terakhir kelompok Gledek ’99 di Taman Budaya Surakarta pada tahun 2003 yang lalu.
Pasca pameran di Solo, masing-masing orang memacu dirinya dalam kreatifitasnya sendiri-sendiri. Agus TBR sudah sekian kali pameran tunggal, setiap tahun aktif mengikuti pameran-pameran terseleksi di Jogja, Jakarta, maupun di luar negeri. Begitu pula Wedhar, Ayu, Hardiana, Edi, Iqrar, Hamdan, dst. Arya sudah menjadi dosen namun tetap menjaga ritme berkarya dan berpameran di tengah rutinitas kampus dan jabatan strukturalnya. Sri Maryanto pindah ke Jerman dan berpameran keliling negara-negara Eropa.
Puji mengikuti suami dan membesarkan anak di Pontianak, tapi juga tetap menjaga irama berkesenian dan bahkan bisa mempelopori kegiatan-kegiatan yang lebih intens di sana. Demikian pula Hajri di Banjarmasin. Namun ada juga yang lesap karyanya meski tinggal di Jogja, dalam iklim berkesenian yang subur dibandingkan di daerah. Pameran ini, sekali lagi, memilin kenangan dan berharap dapat memotivasi teman-teman yang tertinggal karena sibuk dengan rutinitas keseharian yang makin jauh dari kesenian.
“Mirror” atau “cermin” itu adalah milik bersama, untuk sama-sama melihat lagi semangat berkarya kolektif dan diri masing-masing. Dari sini kita beranjak secara lebih jauh masuk ke dalam karya dan jejak pengalaman yang terefleksikan di dalamnya.
Dalam pameran kali ini rata-rata perupa masih berkarya secara dua dimensional. Artinya, di luar eksplorasi kreatif mereka dengan berbagai media dalam pameran-pameran yang lain, dalam pameran ini umumnya mereka menggunakan media konvensional seperti kertas dan kanvas, dengan cat air, akrilik dan cat minyak. Namun dalam hal eksplorasi gagasan mereka benar-benar menempatkan potret diri dalam kekayaan imajinasi dan fantasi masing-masing, yang bila-bila mengalir secara intuitif dalam style yang sudah biasa mereka “mainkan”. Saya ingin meminjam konsep pembacaan potret diri di dalam lukisan yang dipakai oleh Lois Denissa dalam “’Potret Diri’ Ungkapan Sisi Negatif Karakter Manusia”.8 Setidaknya ada tujuh model pembacaan dalam catatan Denissa; pertama potret diri sebagai tanda tangan, kedua potret diri sebagai proyeksi diri, ketiga potret diri sebagai studi diri, keempat potret diri sebagai fantasi, kelima potret diri sebagai narasi, keenam potret diri sebagai kiasan, dan ketujuh potret diri sebagai refleksi masalah kemanusiaan. Dalam konteks pembacaan pameran ini saya kira yang relevan diterapkan adalah yang ketiga, keempat, keenam dan ketujuh.
Potret Diri sebagai Studi Diri (Self Portrait as Self Study)
Dalam hal ini potret diri digunakan sebagai media dan cara belajar mengenali perasaan, gagasan dan eksistensi sifat manusia. Banyak seniman yang menjadikan dirinya sebagai obyek studi yang intensif lewat seni. Contohnya seperti lukisan potret diri Rembrandt, Van Gogh, dan Frida Kahlo.
Ketiganya menggambarkan dirinya dalam berbagai suasana perasaan dalam fase-fase kehidupan mereka yang penuh dinamika secara emosional. Kehidupan masa muda, penuh gejolak emosi, saat-saat kebingungan menghadapi masalah yang berat, yang dilukiskan dalam raut wajah yang kaya, latar suasana kebatinan yang tampak melalui goresan maupun simbol-simbol yang menjadi latar maupun yang terpatrikan di dalam visualisasi dirinya sendiri. Dalam hal ini juga berlaku apa yang dicontohkan di atas melalui potret diri Da Vinci maupun Affandi.
“Saat ini aku mengerjakan tema memori,” kata Antok (Sri Maryanto). Seperti diakui Antok, ingatannya meliputi masa silam di mana saat itu ia kekurangan informasi terkait kondisi sosial-politik yang disembunyikan atau dibelokkan. Berkarya menurutnya adalah cara menyeimbangkan diri dalam dinamika sosial-politik yang deras, yang terang-dan-temaram itu. Dengan membuat potret diri sekaligus ia menjaga ingatan, yang artinya juga kesadaran, sebagai yang teralienasi dalam arus sosial-politik yang berkisaran di luar pemahamannya. Dalam dua karya yang diajukannya tampak ia sedang menutup matanya, yang bisa bermakna tidak ambil peduli, atau malah tengah mencoba merefleksikan yang tampak di dalam kesadaran batinnya. Keduanya bisa sekaligus sama-sama mengambil peran. Dalam ketidakpedulian yang tentatif (sementara waktu) seseorang tengah mengambil jarak dengan lingkungannya. Bagi saya ini menarik secara spiritual. Figur menutup mata banyak divisualkan dalam ikon Budha, atau orang-orang yang mengambil posisi meditatif—seperti juga dalam lukisan Amang Rahman “Meditasi” (1991). Dengan memejamkan mata ingatan dapat ditelusuri lebih jelas, tentu dengan konsentrasi.
Lalu apa yang terefleksikan secara visual dalam lukisan Antok? Saya kira yang paling jelas adalah kekusutan garis, ketakjelasan bentuk, tumpang-tindih blok warna yang sebenarnya monokromatik, dan itulah “kesadaran” pada suatu waktu yang tentatif. Itulah artefak ingatan, dalam ungkapan Antok, yang kapan waktu di depan akan diingat konteks sosial yang menindihnya.
Dalam “With-in Me” Tutut (Christina Damastuti) menggambarkan bunga-bunga dan percikan-percikan “keceriaan” yang mengitarinya. Dengan menempatkan dua wajahnya, satu tampak profil (samping) dan satu tampak frontal (depan), dalam senyum tipis di antara dua warna itu Tutut seperti tengah menguji dirinya, sejauh mana ia dapat optimistik di antara pendar bunga kehidupan. Bunga-bunga yang mekar berwarna-warni memiliki kualitas simbolik yang sebanding dengan percik-percik kembang api berwarna biru. Dalam keduanya matanya terbuka lebar memandang ke depan penuh kepercayaan diri, atau malah kosong, seperti orang yang menemukan sesuatu atau tengah mencari tahu apa yang dicarinya. Secara psikologis orang yang membuka matanya dan menatap tampak percaya diri, bisa saja sedang menyembunyikan bagian dirinya yang lain yang lebih rapuh. Maka, keceriaan dihadirkan untuk menutupinya. Ini juga sebuah studi diri, untuk melihat kekuatan yang pernah dipupuk pada suatu masa, dan bila-bila dapat menjadi model ketika menghadapi persoalan dalam penuh tekanan. Begitu pula yang saya (Hajri) lakukan dalam mereduplikasi potret diri pada beberapa waktu, kemudian menyusun dan mengganggunya dengan coretan-coretan lain di luar ekspresi garis dan warna yang menjadi bayangan pada raut wajah.
Lina dalam “Going 36” tengah mencatat perjalanan dirinya dalam empat potret yang mungkin (pernah) begitu berkesan baginya. Masa bayi, usia kanak-kanak, masa studi, dan masa kininya yang menjelang usia 36 tahun. Seturut dengan Tutut, Lina membalut potret dirinya dalam pendar warna kerlip bintang yang optimistik. Senyum tipis mengembang, tatapan mata ke hadapan. Pendar warna biru seperti awan yang ditiup angin. Gradasi ke warna gelap seperti menghadirkan alam yang lain. Saya jadi teringat lagi kosmologi Amang tentang alam metafisik (surealistik) di atas realitas keseharian. Awan sendiri bagi Amang Rahman adalah perlambang gerak kehidupan, ia juga bermakna gerak yang pasrah dibentuk oleh angin yang meniupnya. Namun begitu, tentu saja karya Amang berbeda secara estetik dengan karya Lina yang cenderung realistik ini.
Potret Diri sebagai Fantasi (Self Portrait as Fantasy)
Sebagai fantasi potret diri bergerak ke dalam suasana massal maupun ke arah fantasi yang lain—seperti ingin lari ke tengah orang banyak atau malah ke dalam kesunyian yang dibangun si pelukis sendiri. Wajahnya tak lagi menjadi fokus dan bisa saja tak menggambarkan realitas. Denissa mencontohkan lukisan Gustave Courbet yang menyembunyikan dirinya dalam fantasi simbolis di antara kehidupan yang berbaur antara orang kota, petani, pemburu, imam, perempuan muda dan anak laki-laki yang polos dalam lukisannya yang berjudul “Interior of My Studio, a Real Allegory Summing Up Seven Years of My Life as an Artist” (1885).
Agus TBR melukis dirinya setengah badan, dengan wajah yang terburai berupa tumpahan cat yang meleleh. Secara komposisi potret dirinya seperti hanya melengkapi suasana latar belakangnya yang lebih banyak “bicara”, meski tubuh Agus sendiri menjadi pusat perhatian tersendiri dalam warnanya yang kontras dengan warna backgroundnya. Tubuh yang teralienasi adalah konsentrasi tematis lukisan-lukisan Agus selama ini. Saya sempat mengikuti proses kreatif Agus dalam pameran tunggalnya ‘Homesick Alien’ (27 Mei-4 Juni 2012) yang lalu. Saya ketika itu mencatat dalam pengantar pamerannya: “Dunia yang “menghidupi”(nya) terus berubah dan menimbulkan keraguan baginya untuk memeluknya. Tubuh adalah media bagaimana ia bertahan dan (malah) makin massif menduplikasi dirinya ke yang banyak dalam rangka bersisian dengan ruang yang dapat dirasakannya sendiri.” Saya kira karya Agus yang sekarang tidak beranjak jauh dari pengalaman serupa. Realitas yang digambarkannya sebagai background, sekaligus melingkupi secara massal, itu adalah dirinya juga yang teralienasi. Pepohonan kering, rel komidi putar yang dingin dan usang, dahan dan ranting bercabangan silang sengkarut, dan langit yang beku dalam warna kelabu kebiruan. Semuanya itu lalu seperti “dilempari” cat warna-warni yang ceria, meriah, atau malah norak namun tetap terasa dinginnya. Antara tumpukan cat seperti dihubungkan dengan garis-garis yang tajam, yang semuanya berpusat pada wajah yang terburai dalam warna yang (kemudian) meleleh. Dalam fantasi demikian, Agus menggambarkan dirinya sendirian di tengah kebekuan suasana, jauh dari lingkungan sosial yang mungkin saja meriah. Dunia yang demikiankah yang mengungkungi seniman, atau seniman yang menciptakan sendiri dunia yang mengungkunginya?
Wedhar membuat pernyataan yang hampir serupa. “Aku coba buat seri potret yang tidak utuh, tidak kontak mata, kabur, dan tampak belakang. Mengajak penonton untuk seberapa berhasil mendalami karakter dan cerita seseorang dan tidak terjebak pada bentuk wajah semata, karena identitas seseorang susah untuk diidentifikasi secara penuh. Ada banyak elemen yang tersembunyi seperti latar belakang masa lalu, obsesi, atau tekanan yang juga membentuk identitas seseorang.” Dunia yang teralienasi itu bisa saja dibentuk oleh masa lalu, obsesi, atau tekanan dari lingkungan sekitar si pelukis. Dunia yang terpecah-pecah, atau terbelah-belah, itu digambarkan Wedhar juga membelah-belah dirinya. Suasana yang asing, tumpukan cat yang kasar, berpiuh (berpilin) dengan wajah yang tak utuh. Dalam lukisan lain yang turut diajukannya ia menggambar dirinya yang memunggungi penonton—seperti ingin lari dari tatapan mata orang-orang yang melihatnya. Inilah fantasi yang “ingin” mengalienasi sekitarnya, yang juga tergambarkan dalam lukisan Bagus Adi Chandra dalam lukisannya “Topeng Hutan. Dalam pelukisan postur tubuhnya yang komikal, berpusat pada wajahnya yang meledak terburai, Bagus seperti mempertanyakan persoalan lingkungan yang dirambahi manusia yang membuat burung-burung lari dan kehilangan rumahnya. Siapakah manusia di tengah lingkungan alam yang telah lama menghidupinya? Narasinya mungkin bisa kita baca pada dekorasi komikal yang menjadi ornamentasi tubuh dan bayangan di benaknya, yang semuanya dicadari warna gelap yang mendominasi “interior” lukisan.
Potret Diri sebagai Kiasan (Self Portrait as Metaphorical)
Potret diri sebagai kiasan merupakan konsep penggambaran diri pada tingkat abstraksi dengan melakukan distorsi-distorsi yang lebih variatif. Contohnya bisa diwakilkan pada lukisan abstrak ekspresionis Jackson Pollock yang berjudul “Self Portrait”. Walau sulit disebut potret diri, kata Denissa, dorongan spontanitas emosional yang dilakukan seniman mengungkap kedalaman perasaan yang lebih otentik dan realistik dibanding sapuan kuas yang diatur. Begitu pula dengan “Self Portrait” Mark Rothko yang abstrak dan berkecenderungan spiritualistik.
Irpan mewakilkan dirinya lewat tulisan “NODA”. Kata-lah yang membentuk konsep diri dalam hal ini. Semacam pengakuan keterbatasan diri, yang meleleh lewat cat yang usang, yang terburai melalui gelembung-gelembung yang berpendaran dari batu, yang teridentifikasi melalui catatan yang kurang jelas, dan abstraksi keseluruhan yang muram. Bagi saya sendiri ini bentuk pernyataan diri yang subtil, halus dan dalam.
Demikian juga yang dikiaskan Capung (Roeayyah Diana) melalui kepak sayap burung yang ingin diraih tangan yang sepotong. Keseluruhan pelukisannya yang bersifat alegoris seperti ingin meraih perhatian penonton masuk ke dalam dunianya yang subtil. Batang-batang pohon kering, roda bermata gerigi yang biasa menggenggam rantai, tempayan penampung serpihan bulu burung yang jatuh, dan lingkungan yang abu-abu. Begitu juga karya Ayu (-Arista Murti) yang ekspressif-puitik. Tekstur dasar kanvasnya serupa serpihan pasir (atau malah kerikil) kehidupan, ditaburi warna-warna tipis transparan yang menghablur, bertumpukan dan meleleh. Wajahnya yang “ayu” seperti goresan manga berparas tak lengkap. Antara garis dan blok hitamnya dibiarkan mengalir dan spontan. Keruwetan tergambarkan secara artistik. Pengkiasan diri semacam ini saya kira selain artistik dan spontan (dibiarkan apa adanya) memikat mata untuk lebih dalam mengamati setiap benang halus dari garis-garisnya yang tebal tipis itu.
Karya Abdi (-Harno) menyuguhkan wajahnya yang telah diabstraksi/ dirusak sedemikian rupa, sehingga yang dikenali tinggal mata belok dan bibir yang kecil. Garis-garisnya tegas mengingatkan pada sayatan-sayatan kubistik yang membelah dan membagi struktur. Goresan warnanya yang ekspresif terasa spontan di dalam struktur yang terbagi-bagi itu. Namun di luar, blok warna merah menyatukan semuanya dalam keutuhan lukisan. Pengkiasan seperti ini saya kira lebih bersifat artistik belaka. Entah dalam tumpahan garis, titik dan cadar warna keabuan dalam lukisan “Warning #2” karya Iqrar Dinata. Saya tidak tahu sebatas mana kedalamannya, kecuali sekali lagi memaknainya sebagai permainan “bentuk” artistik yang intens dalam unsur-unsur dasar seni rupa itu. Meski demikian, setiap seniman tentu memiliki kesadaran estetik ketika menyodorkan sebuah (bentuk) karya dalam frame tematik yang longgar sekalipun. Maka, abstraksi menjadi semacam tanda jeda bagi orang-orang yang tertarik lebih jauh mengamati.
Potret Diri sebagai Refleksi Masalah Kemanusiaan (Self Portrait as a Reflection of Human Issue)
Masalah kemanusiaan adalah masalah yang teramat luas dan tidak ada habisnya. Saking luasnya semua yang sudah dibicarakan di atas bisa saja digolongkan dalam masalah kemanusiaan dalam berbagai aspeknya. Tapi tentu saja ada tekanan atau konsentrasinya, meski secara visual ia “bebas” berselancar di antara bentuk-bentuk metaforik (pengumpamaan dan pembandingan) yang macam-macam. Puji misalnya, ia mencatat: “Seorang perempuan bermahkotakan sang waktu merupakan renungan tentang spirit perempuan jaman sekarang yang melewati waktunya dengan penuh kegigihan. Waktu terasa begitu cepat, detik demi detik, hari demi hari dan seterusnya tak terasa telah dilampauinya. Berbagai aksesoris seperti baju putih, batik parang rusak barong, tas kerja, mainan anak-anak, jam, bulu burung enggang adalah simbol yang kompleks akan arti sebuah kejujuran, keagungan, keberanian, kasih sayang, dan selalu berusaha bersikap arif terhadap semua keadaan. Meskipun kadang dalam perjalanan kebimbangan selalu menghantuinya seakan apa yang dikerjakan belum sempurna.”
Kompleksitas dunia perempuan adalah dunia kemanusiaan yang tak habis dieksplorasi seniman. Prosa-lirik Linus Suryadi AG misalnya, menelusuri dunia batin seorang perempuan Jawa dalam struktur tradisional yang “mengikat”nya. Pernyataannya adalah ungkapan lirih yang mesti didengar untuk meningkatkan kemanusiaan itu sendiri. Ditulis oleh lelaki, lirik-lirik itu menjadi otokritik bagi penulis dan kaumnya sendiri yang terstrukturasi lewat adat dan tradisi. Tak usahlah kita berbicara tentang Kartini, cukuplah dengan Puji yang mematut dirinya secara tegar dengan simbol-simbol budaya yang kini memerantarainya. Sebagai ibu dan seorang istri ia tentu memikul beban budaya terstruktur yang melingkupi kesehariannya. Lahir dan besar sebagai orang Jawa, kemudian mengikuti suami dan tinggal di Kalimantan Barat (Pontianak), dinyatakan Puji tidak membatasi kreatifitasnya. Meski dua tahun ia sempat “berhenti” berkesenian karena harus berkonsentrasi pada anaknya yang masih kecil, toh, kemudian ia dapat bangkit dan bahkan menjadi sangat sibuk mengorganisir kesenian di “ruang” barunya. Melalui lukisan “Bermahkotakan Sang Waktu” ini puji tidak sekadar mendadar ketegaran seorang perempuan, tapi juga mengungkapkan problem budaya yang “mengikat”nya.
Begitu pula dalam simbol-simbol budaya yang terefleksikan melalui beragam bentuk topeng pertunjukan. Edi Maesar memproyeksikan dirinya dalam banyak tokoh simbolik cerita negeri Tiongkok dalam wayang potehi. Setiap topeng adalah proyeksi jiwa manusia, ada yang berperan sebagai penjaga, pahlawan, penipu, penggoda, dst. Di dalam sengkarut cara bertopeng para politisi, misalnya, kita melihat cara mengelola negara yang acakadut. Namun tidak terbatas pada dunia politik praktis yang luas, dalam medan kesenian pun banyak cara manipulatif bisa sangat kentara, apalagi ketika seniman misalnya masuk-keluar di lingkungan “pasar” yang saling bergesekan itu. Dan setiap seniman dapat memilih ia akan berperan sebagai apa: jongos, petualang romantis, atau pemegang kuasa penuh atas kreatifitasnya. Potret diri Edi sendiri sebenarnya tengah di mana? Di mana ia menyembunyikan wajahnya di balik topeng-topeng yang banyak itu? Baginya ini “pe-er” yang harus terus diselesaikan secara kreatif.
Itulah juga Agus Sahri yang menghadirkan “dirinya” lewat tokoh simbolik semacam Kumbakarna yang terjatuh diseruduk banteng lawannya. Yang terefleksikan tidak sekadar soal cerita wayang yang dinarasikan ulang sedemikian rupa, tapi juga mungkin kecemasan Agus sendiri menghadapi pertentangan antara seniman dan pasar yang “mesti” direngkuhnya. Yang terbayang dalam benak saya, sejauh yang saya pahami dari Agus, kesengkarutan sistem patronase seni rupa yang secara global juga dipengaruhi oleh kondisi ekonomi makro yang bertegangan dengan peristiwa sosial politik di dalam maupun luar negeri mengganggu kemurnian jiwa seniman (jika kemurnian itu dibayangkan ada). Betapa banyak perupa yang melesat naik ke surga pewayangan seni rupa dan kemudian jatuh tak terkira dimainkan oleh pasar yang tak benar-benar dipahaminya. Refleksi dalam dunia pewayangan maupun dunia seni rupa ini bukannya tak dapat diproyeksikan lebih jauh ke dalam dunia kerja maupun politik itu sendiri. Sekarang rasanya semua serba tak pasti. Ketakstabilan membuat orang balik kembali ke alam kebudayaan yang pernah menjadi titik pijak awalnya.
Khatimah
Saya kira tulisan ini pun merupakan fantasi yang ingin berlari sendiri. Namun berlari dalam konteks kreatif, seperti juga yang terekspresikan dalam karya-karya para perupa, bukan berarti menghindari problema. Berlari juga sikap yang optimistik setelah mampu merefleksikan kembali apa-apa yang pernah tertinggal dalam memori kolektif. Dengan berlari mungkin saja orang tak benar-benar tahu tuju yang diingininya, namun niscaya ia akan sampai pada suatu tahapan yang memang benar-benar harus ditujunya. Atau ia merasa telah sampai pada suatu tahapan tertentu, dan berharap dapat menuju puncak-puncak berikutnya.
Suatu hari almarhum Amang Rahman datang ke kantor sebuah penerbitan media massa dengan wajang sumringah dan setengah tergopoh-gopoh. Beberapa jurnalis muda yang mengaguminya menyambutnya dengan senang hati dan bangga. Pelukis surealis sufistik ini memang seringkali membuat suasana perkumpulan menjadi hidup dengan canda dan banyolan-banyolannya yang meski kadang naif dan norak tapi dapat membuat orang berefleksi. Karena itulah ia banyak disenangi oleh rekan-rekan sejawat maupun calon-calon seniman yang mencari panutan. Ketika hari itu Amang membuka pembicaraan dengan bersemangat dengan pernyataan “ini ada berita besar, Tok!” Toto Sonata, seorang jurnalis senior di Jawa Timur, yang menceritakan ini pada saya, lalu bertanya dengan sangat antusias—katanya—saat itu.
“Ada berita apa, Pak Amang?”
“Ini berita besar, Tok.” Katanya sekali lagi.
“Ya, apa beritanya?”
Dengan semangat yang masih besar Amang berkata, “Saya belum makan!”
Demikianlah saya tutup pembicaraan ini dengan suatu kenyataan, seniman selalu mampu memproyeksikan permasalahan pribadinya menjadi sesuatu yang reflektif bagi orang lain.
Palenam, 24 Agustus 2016
Catatan:
1 Cerita ini diadaptasi dari anekdot sufi yang ditulis oleh Idries Shah, dalam Para Pencari Tuhan: Menyibak Kearifan Kisah Para Sufi, (Yogyakarta: Pustaka Al-Furqan, 2007).
2 http://www.bbc.com/indonesia/majalah/2014/10/141030_davinci_hitler_power, diakses tanggal 16/8/2016, pukul 15:23 Wita.
3 Seperti dinyatakan Rudi Isbandi dalam Lukisan sebagai Potret Diri (Surabaya: DKS, 1976).
4 Kita sudah sering membaca atau mendengar cerita tentang Vincent van Gogh beserta delusi-delusi pikiran yang membuatnya “hampir” gila. Juga bagaimana ia melukis Dokter Gachet dan tukang pos Joseph Roulin sebagai terapi kejiwaannya. Sebuah novel dari Irving Stone yang mewawancarai langsung beberapa kenalan Van Gogh menarasikan kisah hidupnya yang dramatis secara utuh dalam Lust for LiFe, (Jakarta: Serambi, 2012).
5 Rudi Isbandi, Lukisan sebagai Potret Diri, h. 21.
6 Baca Katherina Achmad, Kiprah, Karya, dan Misteri Kehidupan Raden Saleh: Perlawanan Simbolik Seorang Inlander, (Yogyakarta: Narasi, 2012). Juga, catatan Peter B.R. Carey, “Raden Saleh, Dipanagara dan Lukisan Penangkapan Dipanagara di Magelang” dalam Harsja W. Bachtiar, Peter B.R. Carey, Onghokham, Raden Saleh: Anak Belanda, Mooi Indië dan Nasionalisme, (Depok: Komunitas Bambu, 2009).
7 Potret diri yang monumental ini dijadikan cover depan buku Ambang Cakrawala: Seni Lukis Amang Rahman Jubair (Jakarta: Yayasan Kembang Jati, 2001), oleh Henri Nurcahyo dan Mamannoor.
8 http://majour.maranatha.edu/index.php/imaji/article/view/922, diakses tanggal 24/8/2016, pukul 18:26 Wita.